BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan Agama Islam Di Indonesia sangatlah di pengaruhi oleh para tokoh-tokoh atau para pemuka agama jaman dahulu,khususunya para wali yang kita kenal sebagai Wali Songo atau dalam bahasa indonesi artinya sembilan wali.Tapi, bagaimana dengan perkembangan Islam di Riau?
Untuk menjawab pertanyaan ini,kita perlu melihat-lihat dan mengobservasi sejarah yang berkaitan dengan peninggalan – peninggalan sejarah islam di Riau itu sendiri seperti Masjid dan selain itu sejarah kerajaan-kerajaan islam yang ada di Riau itupu perlu kita pelajari dan kita kaji,agar nantinya kita bias mengambil kesimpulan tentang bagaimana perkembangan Islam di Riau.
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penulisan makalah ini adalah sebatas terhadap beberapa hal penting yang berhubungan dengan perkembangan Islam di Riau,Yaitu :
1) Kerajaan-kerajaan Islam Di Riau
2) Situs – situs peninggalan sejarah Islam di Riau
3. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan kami dalam penyusunan makalah yang berjudul “Perkembangan Islam Di Riau” adalah :
1.Untuk menambah pengetahuan Penulis dan Pembaca tentang perkembangan islam di Riau pada umumnya.
2.Untuk menambah pengetahuan pembaca, tentang beberapa bukti pengembangan ajaran Islam Di Riau, yang di buktikan dari data-data situs peninggalan sejarah islam di Riau.
3.Untuk menambah wawasan tentang tatanan kehidupan masyrakat Riau yang matoritas bercorak Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sarana Masuknya Islam (Jalur pendidikan)
Sejarah mencatat bahwa pendidikan Islam di Indonesia memiliki karakeristik yang unik.Pada era kolonial, pendidikan Islam didirikan dengan ‘modal dengkul’ dari para ulama dan semangat warga.Hal itu sebagai upaya untuk menandingi keberadaan pendidikan sekuler yang dijalankan oleh pemerintah Belanda. Tak ada uluran tangan dari pemerintah kolonial dalam bentuk apapun. Sehingga kentara sekali jika pendidikan Islam menjadi anak tiri bahkan ‘anak haram’ pada saat itu. Hal ini antara lain direkam oleh Manfred Ziemek (1986) dan Siok Cheng Yeoh (1994).
Dalam konteks itu, pendidikan Islam di Riau memiliki kesamaan sejarah dengan daerah lain dan inilah yang menjadi dasar dari perkembangan agama Islam Di Riau.Ia didirikan dengan semangat dakwah Islam sebagaimana kita temukan di daerah Kabupaten Indragiri Hilir ataupun daerah lainnya.
B. Sejarah kerajaan Islam Riau dan Pengaruhnya bagi penyebaran Islam
Salah satu bentuk bukti-bukti penyebaran dan perkembangan agama islam di Riau adalah dengan mengetahui beberapa sejarah penting tentang kerajaan Islam di Riau.
a) Kesultanan Riau-Lingga
Kesultanan Riau-Lingga adalah kerajaan Islam yang berpusat Kepulauan Lingga yang merupakan pecahan dari Kesultanan Johor. Kesultanan ini dibentuk berdasarkan perjanjian antara Britania Raya dan Belanda pada tahun 1824 dengan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 3 Februari 1911.
Wilayah Kesultanan Riau-Lingga mencakup provinsi Kepulauan Riau modern, tapi tidak termasuk provinsi Riau yang didominasi oleh Kesultanan Siak, yang sebelumnya sudah memisahkan diri dari Johor-Riau.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Riau-Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, dan kemudian Kesultanan Johor-Riau. Pada 1811 Sultan Mahmud Syah III mangkat. Ketika itu, putra tertua, Tengku Hussain sedang melangsungkan pernikahan di Pahang. Menurut adat Istana, seseorang pangeran raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat. Dalam sengketa yang timbul Britania mendukung putra tertua, Husain, sedangkan Belanda mendukung adik tirinya, Abdul Rahman. Traktat London pada 1824 membagi Kesultanan Johor menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania sedangkan Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman ditabalkan menjadi raja Riau-Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah, dan berkedudukan di Kepulauan Lingga.
Sultan Hussain yang didukung Britania pada awalnya beribukota di Singapura, namun kemudian anaknya Sultan Ali menyerahkan kekuasaan kepada Tumenggung Johor, yang kemudian mendirikan kesultanan Johor modern.
Pada tanggal 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia-Belanda memakzulkan Sultan Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah. Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah langsung pada tahun 1913.
b) Kesultanan Riau-Lingga
Daik Lingga,Daik (Bekas Pusat Kerajaan Riau Lingga)Daik, dahulunya hampir selama seratus tahun menjadi pusat kerajaan Riau-Lingga, sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau.
Kota Daik yang terletak di sungai Daik, hanya dapat dilalui perahu atau kapal motor di waktu air pasang. Kalau air surut, sungai Daik mengering dan tak dapat dilalui. Perhubungan lainnya adalah melalui jalan darat ke desa Resun di sungai Resun. Dari sana melalui sungai itu terus ke muara (Pancur) yang terletak di pantai utara pulau Lingga, berseberangan dengan Senayang.
Selama seratus tahun Daik menjadi pusat kerajaan, tentulah terdapat berbagai peninggalan sejarah dan sebagainya. Raja-raja kerajaan Riau-Lingga yang memerintah kerajaan selama periode pusat kerajaan di Daik Lingga yaitu : Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulalman Badrul Alam Syah II (1857-1883) dan Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1883-1911).
Mesjid Jamik Daik
Mesjid Jamik terletak di kampung Darat, Daik Lingga, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Riayat Syah (1761-1812) pada masa awal beliau memindahkan pusat kerajaan dari Bintan ke Lingga. Sumber tempatan menyebutkan bahwa bangunan mesjid ini dimulai sekitar tahun 1803, dimana bangunan aslinya seluruhnya terbuat dari kayu. Kemudian setelah Mesjid Penyengat selesai dibangun, maka bangunan Mesjid Jamik ini dirombak dan dibangun lagi dari beton.
Mesjid ini di dalam ruang utamanya tidaklah mempergunakan tiang penyangga kubah atau lotengnya. Pada mimbarnya terdapat tulisan yang terpahat dalam aksara Arab-Melayu (Jawi), berisi : “Muhammad SAW. Pada 1212 H hari bulan Rabiul Awal kepada hari Isnen membuat mimbar di dalam negeri Semarang Tammatulkalam.” Tulisan ini memberi petunjuk, bahwa mimbar yang indah ini dibuat di Semarang, Jawa Tengah dengan memasukan motif-motif ukiran tradisional Melayu.
c) Kerajaan Indragiri
Indragiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu “Indra” yang berarti mahligai dan “Giri” yang berarti kedudukan yang tinggi atau negeri, sehingga kata indragiri diartikan sebagai Kerajaan Negeri Mahligai Kerajaan Indragiri diperintah langsung dari Kerajaan Malaka pada masa Raja Iskandar yang bergelar Narasinga I. Pada generasi Raja yang ke 4 (empat) barulah istana Kesultanan Indragiri didirikan oleh Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II beristerikan Putri Dang Purnama, bersamaan didirikannya Rumah Tinggi di Kampung Dagang.
Raja-Raja Kerajaan Indragiri
Adapun Silsilah dari Kerajaan ini sebagai berikut :
1. Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I. Memerintah pada tahun 1298 - 1337, beliau adalah Sultan Indragiri pertama yang merupakan Putra Mahkota dari Kerajaan Melaka
2. Raja Iskandar alias Nara Singa I. Memerintah pada tahun 1337 - 1400 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua
3. Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya. Memerintah pada tahun 1400 - 1473 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga.
4. Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan Zirullah Fil Alamin bergelar Nara Singa II. Memerintah pada tahun 1473 - 1452 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat, dimakamkan di Pekan Tua / Kota Lama.
5. Sultan Usulluddin Hasansyah. Memerintah pada tahun 1532 - 1557 M dan merupakan Sultan Indragiri ke lima.
6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah. Memerintah pada tahun 1557 - 1599 M dan merupakan Sultan Indragiri ke enam.
7. Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1559 - 1658 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh.
8. Sultan Jamalluddin Suleimansyah. Memerintah pada tahun 1658 - 1669 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan.
9. Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1669 - 1676 M dan merupakan Sultan Indragiri ke Sembilan.
10. Sultan Usulluddin Ahmadsyah. Memerintah pada tahun 1676 - 1687 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sepuluh.
11. Sultan Abdul Jalilsyah. Memerintah pada tahun 1687 - 1700 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sebelas.
12. Sultan Mansyursyah. Memerintah pada tahun 1700 - 1704 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua belas.
13. Sultan Modamadsyah. Memerintah pada tahun 1704 - 1707 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tiga belas.
14. Sultan Musafarsyah. Memerintah pada tahun 1707 - 1715 M dan merupakan Sultan Indragiri ke empat belas.
15. Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri. Pada awalnya beliau merupakan Mangkubumi Indragiri kemudian menjadi Sultan Indragiri ke lima belas yang memerintah pada tahun 1715 - 1735 M dan dimakamkan di Kota Lama.
16. Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah. Memerintah pada tahun 1735 - 1765 M dan merupakan Sultan Indragiri enam belas. Dimakamkan di Kampung Tambak sebelah hilir Kota Rengat.
17. Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan. Memerintah pada tahun 1765 - 1784 M dan merupakan Sultan Indragiri ke tujuh belas. Dimakamkan di Mesjid Daik Riau
18. Sultan Ibrahim. Memerintah pada tahun 1784 - 1815 M dan merupakan Sultan Indragiri ke delapan belas. Ia adalah yang mendirikan kota Rengat dan pernah ikut dalam perang Teluk Ketapang untuk merebut kota melaka dari tangan Belanda pada tanggal 18 Juni 1784. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
19. Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu. Memerintah pada tahun 1815 - 1827 M dan merupakan Sultan Indragiri ke sembilan belas, beliau pernah bertapa di puncak Gunung Daik.
20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal. Memerintah pada tahun 1827 - 1838 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh.
21. Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah. Memerintah pada tahun 1838 - 1876 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh satu.
22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah. Memerintah pada tahun 1876 M - hanya seminggu naik tahta kerajaan kemudian meninggal dunia karena sakit dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh dua.
23. Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah. Memerintah pada tahun 1877 - 1883M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua tiga. Dimakamkan di Raja Pura ( Japura)
24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah. Memerintah pada tahun 1887 - 1902 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh empat. Dimakamkan di Mesjid Raya Rengat
25. Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri, memangku pada tahun 1902 - 1912 M.
26. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah. Memerintah pada tahun 1912 - 1963 M dan merupakan Sultan Indragiri ke dua puluh lima. Oleh T.N.I diberikan pangkat Mayor Honorair TNI dengan surat penetapan Panglima T.N.I No. 228/PLM/Pers/1947 tanggal 11 Desember 1947
C) Situs-situs peninggalan sejarah Islam di Riau
Salah satu bukti nyata dari perkembangan dan penyebaran agama Islam di Riau dapat kita lihat dari Situs-situs peninggalan sejarah islam di Riau Seperti :
a. Masjid Raya Nur Alam Senapelan Tonggak Sejarah Islam Pekanbaru
Sebuah bangunan masjid megah yang didominasi warna kuning di daerah Senapelan. Bangunan tempat ibadah kaum muslimin seluas 60 X 80 meter itu dikenal dengan nama Masjid Raya Nur Alam. Sejarah nama Masjid Raya Nur Alam yang juga dijuluki Masjid Alam ini, diambil dari nama kecil Sultan Alamudin yaitu Raja Alam. Dimana upacara menaiki bangunan ini dilakukan pada salat Jum'at yang dipimpin oleh menantu Sultan Alamudin yaitu Imam Syaid Oesman Syahabuddin, menantu Sultan Alamuddin, ulama besar kerajaan Siak.Bangunan Masjid bersejarah itu terlihat masih berdiri kokoh di sudut kota Pekanbaru.
Menurut sejarah rilisan takmir masjid ini, pada tahun 1762 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahan kerajaan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan. Bukit Senapelan selanjutnya dikenal sebagai Kampung Bukit. Dalam tradisi melayu, sebuah istana kerajaan hendaknya dibangun bersama balai rapat dan masjid. Prasyarat tradisi itu merupakan perwujudan dari filosofi ôTali Berpilin Tigaö dimana dasar sebuah tata masyarakat melayu adalah adanya unsur pemerintah, adat dan agama. Secara bentuk, bangunan Masjid Raya Pekanbaru telah mengalami berbagai ubahan Awalnya masjid hanya berukuran kecil dan terbuat dari kayu, menurut Dadang, salah satu pengurus masjid. Arsitektur bangun masjid ini masih asli. Masjid ini hanya mengalami pelebaran saja, mengingat umat muslim yang beribadah di masjid ini ini terus bertambah. Masjid yang berdiri di luas tanah tanah sekitar setengah hektare ini, memiliki nilai arsitektur tradisional yang amat menarik. Bangunan religius yang merupakan peninggalan kerajaan Siak dan merupakan masjid batu pertama yang dibangung di Pekanbaru. tdak banyak orang mengetahui, komplek masjid inilah nama Pekanbaru bermula.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah (1766-1779), komplek kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Sebagai sebuah pusat pemerintahan, dibangunlah sarana pendukung ekonomi berupa pasar. Islam dalam catatan banyak sejarawan disebarkan oleh kalangan pedagang. Pasar yang saat itu disebut sebagai ôPekanö sudah ada sebelumnya di komplek itu. bangunan pasar baru itu saat itu dinamakan sebagai ôPekan Baharoeö. Pada perkembanganya, kelaziman nama itu menjadi Pekanbaru dan menjadi nama kota ini hingga kini.Masjid sebagai pusat kebudayaan islam kental sekali terlihat. Seperti pada zaman awal islam, masjid juga digunakan sebagai tempat untuk mengambil sumpah bagi orang yang akan memeluk agama dan keyakinan islam.
Pada saat tribun berkunjung, H. Azhar Kasim, salah satu Imam masjid tengah mengambil sumpah dalam dua kalimat syahadat dua orang warga Rumbai. NiÆu Delau dan Feni Lase, misalnya.Dua orang warga Rumbai ini menyatakan memeluk agama islam, dan mengucap dua kalimat syahadat di masjid raya Pekanbaru ini. Imam masjid, H.Azhar Kasim, yang mengislamkan dua perantau asal Nias itu berpesan beberapa hal. Secara umum, rukun iman dan rukun islam menjadi nasehat awal kepada Niu dan Feni. ôIslam itu agama yang universal dan sesuai dengan nurani manusiaö ujar Azhar. Menurutnya, tidak ada perantara dalam hubungan antara pencipta dengan hambanya dalam islam. Disamping itu, ia juga menegaskan kepada dua muallaf itu, agar dalam memeluk islam bukan karena adanya pemaksaan.Kedepan, masjid bersejarah yang sedang dipugar ini akan difungsikan sebagai pusat kajian dan kebuadyaan islam. Sebuah Islamic centre akan dibangun. Dengan pembebasan tanah seluas 3,5 hektare, komplek Islamic Center ini akan mengakomodir kebutuhan bermasyarakat umat islam secara luas. Gedung serbaguna, pasar, pelabuhan hingga amphitheater akan dibangun guna mesukseskan tujuan revitalisasi masjid ini. 3 zona terbagi dalam rancang bangun kawasan masjid. Zona satu berupa Masjid sebagai tempat ibadah. Zona dua berupa Islamic center mewakili balai kerapatan, dan zona tiga adalah pelabuhan mewakili area istana. Ketiga zona tersebut, menurut pengurus masjid merupakan perwujudan filosofi tiga berpilin yang menjadi nafas kerajaan melayu.Terletak tak jauh dari pusat perbelanjaan Pasar Bawah di Kecamatan Senapelan, di komplek masjid saksi dari penyebaran awal agama islam ini terdapat komplek makam.
Selain tempat ibadah, pada bulan tertentu, Masjid Raya juga dijadikan salah satu objek wisata religius andalan kota Pekanbaru. Wisatawan domestik maupun luar negeri acapkali berkunjung ke masjid itu. Prosesi adat mandi menjelang bulan puasa ôMandi Balimauö adalah salah satu tradisi menjelang ramadhan yang oleh pemerintah setempat dijadikan salah satu andalan sektir wisata. Mandi menjelang bulan ramadhan juga dikenal dibeberapa tempat lain. Dalam tradisi jawa, tradisi mandi yang diadaptasi dari kebiasaan pada sebelum islam itu dikenal sebagai ôpadusanö. Berbeda dengan padusan, mandi balimau menggunakan beberapa jenis rempah, akar-akaran, dan buah limau sebagai campuran air. Mandi balimau yang didaerah Kampar dinamakan dengan Belimau Kasai ini kemudian dikemas sebagai agenda wisata dan dkenal sebagai ôPetang Megangö.Peziarah dan pengunjung maupun wisatawan dalam maupaun dan luar negeri, acapkali datang berkunjung. Peziarah dari berbagai penjuru umumnya datang untuk berdoa di komplek makam Sultan Siak. Menurut Dadang, yang juga mengurus komplek makam. Komplek makam memang terbuka untuk peziarah umum.
b. Masjid Arrahman Tertua ke2 di Pekanbaru
Ternyata, setelah mendengar cerita seorang kakek yang bernama Ibrahim salah satu saksi hidup berdirinya Mesjid Arrahman Pekanbaru Riau. Ia bercerita bahwa Masjid yang berada di persimpangan jalan Soedirman dan Jalan Nangka Pekanbaru ini "katanya" adalah masjid tertua kedua di Kota Pekanbaru
Dijelaskannya, lokasi bangunan Masjid Ar-Rahman merupakan tanah wakaf dari Raden Sastro Pawiro Djaya Diningrat. Pembangunan masjid ini dilakukan dengan swadaya masyarakat yang berada di sekitar Jalan Sumatera dan wilayah Pekanbaru hingga ke Tangkerang. Namun begitu, Raden Sastro merupakan donatur terbesar dan yang berperan penting dalam pembangunan masjid ini.
"Raden Sastro memiliki banyak jasa dengan masjid ini, karena dialah yang memberikan konstribusi besar untuk terwujudnya masjid ini. Tidak hanya itu, yang menggagas masjid ini adalah Raden bersama masyarakat sekitarnya," ujarnya sampil mempermainkan kacamata yang berada di tangannya.
Dalam penuturannya, pembangunan masjid ini dimulai tahun 1930 hingga 1935. Saat itu, di sekitar masjid terdapat tiga rumah panggung. Raden bersama masyarakat berswadaya membangun satu-satunya masjid yang berada di tengah kota itu. Konsep pembangunan juga sangat sederhana. Dinding, lantai, dan tiang masjid saat itu hanya berasal dari papan biasa dengan atap daun dan bangunan berbentuk panggung dengan ketinggian 1 meter. Luas bangunan juga hanya 8x8 m2. Masjid juga dicat menggunakan oli bekas, sehingga warna masjid sedikit hitam kecoklatan bergabung dengan warna papan.
Meski sederhana, warga Pekanbaru yang mayoritas muslim saat itu terus memenuhi masjid tersebut. Mulai dari warga Jalan Sumatera, Tangkerang, Cut Nyak Dien, A Yani hingga di Jalan Pinang. Apalagi setelah tabuhan beduk disambut dengan suara azan terdengar saat masuknya waktu salat.
"Dulu sangat ramai, bahkan masjid ini penuh. Terutama waktu beduk yang saat itu ada ditabuhkan dan ditambah suara azan dari muazin. Begitu mereka masuk, lantai papan masjid berderak-derak (berbunyi), apalagi saat kita sedang melaksanakan ibadah salat jamaah. Bisa dikatakan tidak pernah tidak penuh masjid ini pada masa itu," ujar lelaki yang lahir 20 Agustus 1932 itu.
Melihat kondisi ini, sekitar tahun 1960 warga mulai berswadaya menurunkan bangunan masjid itu dari panggung menjadi tidak panggung. Namun kondisi bangunan tetap sama tanpa ada perubahan. Pasalnya saat itu, Raden yang rumahnya saat itu berada tepat di atas tanah yang saat ini berdiri gedung delapan lantai PT Surya Dumai.
"Kalau ditotal sebelum Pemko, kami sudah memrenovasi masjid ini sebanyak dua kali. Yaitu tahun 1935 dan 1960 yang lalu. Pemko sendiri baru merenovasi masjid ini sekitar tahun 2005 yang lalu," jelasnya.
Pada tahun 2004 yang lalu Pemerintah Kota Pekanbaru telah melakukan pembebasan lahan yang berada di sekitar mesjid Ar-Rahman. 4.700 meter persegi tanah yang dibebaskan, dan saat ini lah yang dibangun Masjid Ar-Rahman dan Gedung BAZ serta KPU Pekanbaru. Setelah itu sekitar tahun 2006 lalu pemerintah Provinsi Riau membantu bangunan sekitar 610 meter persegi.
Banyak perubahan yang terjadi di masjid ini, bahkan bisa dikatakan berubah 100 persen. Dari sebuah masjid yang kecil saat ini berubah menjadi sebuah masjid yang sangat mengah. Tak ayal, Pemko Pekanbaru menasbihkannya menjadi salah satu ikon Kota Bertuah ini. Namun satu yang tak akan pernah hilang diingatan Ibrahim, sesaat ketika Ustadz Abdullah Hasan yang tidak lain adalah orangtua dari Wali Kota Pekanbaru Drs H Herman Abdullah MM menyampaikan tausiahnya yang memang kerap dilakukan.
"Bentuk bangunan bisa berganti, tetapi nilai sejarah yang terkandung tidak akan hilang. Satu hal yang tidak akan saya lupakan yaitu pesan dari Uztad Abdullah Hasan dalam dakwahnya," ujarnya kakek bernama Ibrahim itu.
c. Istana Kerajaan Siak
1. Sejarah Pembangunan
Istana Siak ini merupakan bukti sejarah kebesaran kerajaan Melayu Islam di Riau. Istana ini dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889, dengan nama ASSERAYAH HASYIMIAH lengkap dengan peralatan kerajaan. Sebelum pembangunan istana dilakukan, Sultan melakukan lawatan ke negeri Belanda dan Jerman. Kemungkinan, pengalaman selama di Eropa ikut mempengaruhi corak arsitektur Istana Siak.
Saat ini, di dalam istana masih bisa ditemukan berbagai koleksi yang bernilai tinggi, seperti:
• kursi singgasana sultan yang bersalut emas
• payung
• senjata kerajaan Melayu
• bendera kerajaan Siak
• replika mahkota Kerajaan Siak
• setanggi pembakar
• canang
• alat musik komet buatan Jerman, yang memiliki piringan bergaris tengah 90 cm, berisikan lagu-lagu Mozart dan Bethoven
• kursi dan meja yang terbuat dari kayu, kristal dan kaca
• lampu kristal warna-warni
• berbagai bentuk lemari dan senjata
• dan beraneka bentuk koleksi cendera mata dari negeri sahabat.
Selain benda-benda tersebut, terdapat sebuah cermin peninggalan permaisuri sultan yang disebut cermin Ratu Agung. Ada keyakinan yang berkembang di masyarakat bahwa, jika sering bercermin di depan Ratu agung, maka akan membuat kulit awet muda.
2. Lokasi
Istana ini terletak di Kabupaten Siak Sri Indrapura, berjarak lebih kurang 125 km. dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.
3. Luas
Bangunan Istana Siak berdiri di atas areal tanah seluas ± 28.030 m2.
4. Arsitektur
Corak arsitektur Istana Siak menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu, Arab dan Eropa. Istana ini masih berdiri megah hingga saat ini setelah dilakukan beberapa kali renovasi. Pada pintu gerbang masuk, terdapat hiasan berupa sepasang burung elang menyambar dengan sorot mata tajam, seolah-olah mengawasi semua orang yang akan masuk ke areal istana.
Istana Siak terdiri atas dua lantai, lantai bawah dan lantai atas. Pada setiap sudut bangunan terdapat pilar berbentuk bulat. Sedangkan pada bagian ujung puncak terdapat hiasan burung garuda. Semua pintu dan jendela berbentuk kubah dengan hiasan mozaik kaca. Lantai bawah terdiri dari 6 ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu dan ruang sidang. Di dalamnya terdapat ruang besar utama yang terbagi atas ruang depan istana, ruang sisi kanan, ruang sisi kiri, dan ruang belakang. Sedangkan lantai atas terdiri dari 9 ruangan yang berfungsi untuk istrahat sultan, keluarga atau kerabat sultan dan para tamu kerajaan.
Selain bangunan utama, di dalam komplek Istana Siak juga terdapat bangunan lain, yaitu:
a. Istana Baru
Istana ini berada di sebelah barat bangunan utama. Dibangun pada masa sultan yang terakhir. Denah dasar bangunan ini berbentuk persegi empat berukuran 19 m x 15,7 meter. Terdiri dari enam ruangan yaitu ruang depan, ruang tamu, ruang kerja, ruang makan, dan 2 buah kamar tidur. Pada bagian samping kanan dan kiri terdapat teras.
Istana Baru dahulu difungsikan untuk tempat tinggal permaisuri sultan pada waktu hamil. Sekarang digunakan untuk tempat tinggal keturunan sultan.
b. Istana Panjang
Istana ini hanya tinggal lubang-lubang bekas tonggak (tiang) yang terletak di sebelah timur bangunan utama istana. Berdasarkan penuturan dari keluarga keturunan sultan, dahulu Istana Panjang tersebut terbuat dari kayu.
c. Istana Limas
Saat ini, bentuk bangunan istana sudah tidak ada. Konon, dahulu istana ini juga terbuat dari kayu.
d. Gardu Jaga Lama
Gardu jaga lama berbentuk bulat silinder, terbuat dari batu bata. Diameternya berukuran 3 m. dengan 1 buah pintu di depan berbentuk kubah. Terletak di sebelah kiri bangunan istana baru.
e. Dapur dan Kolam Istana
Dapur istana terletak di belakang kanan bangunan istana baru. Sekarang yang masih tersisa adalah bagian dinding, terdiri dari 3 ruangan berjajar. Bangunan ini relatif kurang terawat dan sekarang difungsikan sebagai gudang. Di depan dapur istana ini terdapat kolam istana berbentuk bulat dengan diameter 5,30 m dan tinggi fondasi 40 cm. Adapun ketebalan dinding sekitar 26 cm.
5. Perencana
Sebagian orang berpendapat, arsitek atau perencana istana ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Jerman. Namun tidak diketahui secara pasti siapa namanya.
D ) Situs-situs peninggalan sejarah Islam di Kepulauan Riau
a.Pulau Penyengat
Makam Engku Putri
Makam Engku Putri Permaisuri Sultan Mahmud ini terletak di pulau Penyengat Indra Sakti. Pulau Penyengat adalah milik Engku Putri, karena pulau ini dihadiahkan suaminya Sultan Mahmud Syah sebagai mas kawinnya sekitar tahun 1801-1802. Selain itu Engku Putri adalah pemegang regalia kerajaan Riau.
Bangunan makam terbuat dari beton, dikelilingi oleh pagar tembok pada tempat yang ketinggian. Dahulu atap bangunan makam dibuat bertingkat-tingkat dengan hiasan yang indah.
Di kompleks ini terdapat pula makam tokoh-tokoh terkemuka kerajaan Riau, seperti makam Raja Haji Abdullah (Marhum Mursyid)
Yang Dipertuan Muda Riau IX, makam raja Ali Haji, pujangga Riau yang terkenal “Gurindam Dua Belas”, makam Raja Haji Abdullah, makam Mahkamah Syariah kerajaan Riau-Lingga, makam Tengku Aisyah Putri – Yang Dipertuan Muda Riau IX, dan kerabat-kerabat Engku Putri yang lain.
Sejarah Riau mencatat bahwa Engku Putri (Raja Hamidah) adalah putri Raja Syahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang – Yang Dipertuan Muda Riau IV – yang termashur sebagai pahlawan Riau dalam menentang penjajahan Belanda. Sebagai putri tokoh ternama, Engku Putri besar peranannya dalam pemerintahan kerajaan Riau, sebab selain memegang regalia (alat-alat kebesaran kerajaan) beliau adalah permaisuri Sultan Mahmud, dan tangan kanan dari Raja Jaafar – Yang Dipertuan Muda Riau VI.
Sebagai pemegang regalia kerajaan, beliau sangatlah menentukan dalam penabalan sultan, karena penabalan itu haruslah dengan regalia kerajaan. Engku putri pernah pula melakukan perjalanan ke beberapa daerah lain, seperti ke Sukadana, Mempawah dan lain-lain untuk mempererat tali persaudaraan antara kerajaan Riau dengan kerajaan yang dikunjunginya.
Tokoh ternama dari kerajaan Riau ini mangkat di pulau Penyengat bulan Juli tahun 1884.
Mesjid Raya Sultan Riau
Mesjid yang menjadi kebanggaan orang Melayu Riau ini didirikan pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M) atas prakarsa Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau VII. Bangunan mesjid ini seluruhnya terbuat dari beton, berukuran 18 x 19,80 meter. Di bagian dalam ruang utama terdapat empat buah tiang utama. Pada keempat sudut bangunan berdiri empat buah menara, sedangkan atapnya terdiri dari 13 buah kubah yang unik. Cerita masyarakat tempatan menyebutkan,untuk membangun mesjid ini, terutama untuk memperkuat beton kubah, menara dan bagian tertentu lainnya, dipergunakan bahan perekat dari campuran putih telur dan kapur. Pelaksanaan pembangunannya melibatkan seluruh lapisan masyarakat di kerajaan Riau, yang bekerja siang malam secara bergiliran.
Di dalam mesjid ini tersimpan pula kitab-kitab kuno (terutama yang menyangkut agama Islam) yang dulunya menjadi koleksi perpustakaan didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI Ahmadi,Yang Dipertuan Muda Riau X. Benda lain yang menarik dan terdapat dalam mesjid ini adalah mimbarnya yang indah, serta kitab suci AI Qur’an tulisan tangan.
Bekas Gedung Tabib Kerajaan
Sisa gedung Engku Haji Daud ini hanya berupa empat bidang dinding tembok dengan beberapa buah rangka pintu dan jendela. Gedung ini dahulu dikenal dengan sebutan Gedung Engku Haji Daud atau Gedung Tabib Kerajaan, karena beliau adalah Tabib Kerajaan Riau. Bekas gedung ini banyak menarik pengunjung karena disamping peninggalan sejarah juga terletak di tengah kediaman ramai.
Makam Raja Haji
Raja Haji-Yang Dipertuan Muda Riau IV-adalah pahlawan Melayu yang amat termashur. Beliau berperang melawan penjajah Belanda sejak berusia muda sampai akhir hayatnya dalam peperangan hebat di Tetuk Ketapang tahun 1784.
Raja Haji yang hidup antara tahun 1727-1784 itu telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin, hulubalang dan ulama. Para penulis sejarah mencatat, terutama pada tahun 1782-1784 cukup berpengaruh terhadap stabilitas sosial politik dan ekonomi di wilayah Nusantara dan negeri-negeri Belanda yang sangat tergantung terhadap sumber perekonomiannya di Timur.
Pihak Belanda bahkan menganggap bahwa perang yang dipimpin Raja Haji adalah peperangan yang cukup besar dan sempat menggoncangkan kedudukan Belanda di Nusantara. Karena kepahlawanannya itulah, Raja Haji diagungkan masyarakat Melayu, disebut dengan gelar Raja Haji Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang.
Ketika beliau mangkat dalam peperangan hebat di Teluk Ketapang, jenazahnya kemudian dibawa ke Malaka dan dikebumikan disana. Baru beberapa tahun kemudian jenazah beliau dibawa ke pulau Penyengat dan disemayamkan dalam makam yang terletak di Bukit Selatan pulau Penyengat, bersebelahan dengan makam Habib Syekh, seorang ulama terkemuka di kerajaan Riau-Lingga.
Makam Raja Jaafar
Raja Jaafar – Yang Dipertuan Muda Riau VI – adalah putra Raja Haji Sahid Fisabilillah Marhum Teluk Ketapang. Raja Jaafar menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VI tahun 1806-1831. Ketika mangkatnya digelar Marhum Kampung Ladi.
Kompleks makam almarhum Raja Jaafar seluruhnya dibuat dari beton, indah dan kokoh. Pada makam ini terdapat pilar-pilar, kubah-kubah dari beton yang dihiasi ornamen yang menarik. Di luar cungkup makam ini, dalam kompleks makam terdapat pula kolam air yang dilengkapi tangga batu tempat berwuduk. Di kompleks makam ini terdapat pula makam-makam keluarga bangsawan lainnya.
Makam Raja Abdurrakhman
Raja Abdurrakhman – Yang Dipertuan Muda Riau VII – ketika mangkatnya digelar Marhum Kampung Bulang. Raja Abdurrakhman menjadi Yang Dlpertuan Muda Riau tahun 1832-1844. Beliau terkenal aktif dalam menggalakkan pembangunan di pulau ini, serta taat beribadah. Salah satu hasil upaya beliau yang utama adalah pembangunan Mesjid Raya Penyengat. Karena jasanya itutah, ketika beliau meninggal dunia jenazahnya dikebumikan hanya beberapa ratus meter di bagian belakang mesjid, terdapat pada sebuah lereng bukit.
Bekas Istana Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah
Bangunan bekas istana Sultan Riau yang terakhir ini hanya berupa puing-puing belaka dahulu. Istana ini disebut Kedaton, dengan lapangan luas di sekitarnya.
Istana ini mulai rusak sejak Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1833-1911) meninggalkan Penyengat karena dimusuhi Belanda, akibat sikap beliau menentang pemerintahan Betanda tahun 1911. Beliau segera ke Daik dan bergegas meninggalkan Daik dan untuk selanjutnya bermukim di Singapura sampai akhir hayatnya. Sejak itu istana ini tinggal terlantar dan akhirnya runtuh sama sekali, kini tinggal puingnya.
Bekas Gedung Tengku Bilik
Bangunan ini bertingkat dua, walaupun sudah rusak tapi bentuk aslinya masih kelihatan. Bentuk bangunannya merupakan ciri-ciri kesukaan para bangsawan Melayu akhir abad XIX, karena seni bangunan seperti itu masih ditemui di Singapura (istana Kampung Gelam), di Johor dan tempat-tempat lain di semenanjung Malaysia. Bangunan ini masih ditempati sampai masa Perang Dunia II dan sekarang masih menarik pengunjung yang datang ke pulau Penyengat.Pemilik gedung ini, yaitu Tengku Bilik, adik sultan Riau terakhir, bersuamikan Tengku Abdul Kadir.
Gudang Mesiu
Tak seberapa jauh dari Mesjid Raya Penyengat terdapat bangunan kecil yang seluruhnya terbuat dari beton, tampak amatlah kokoh dengan temboknya setebal satu hasta dengan jendela-jendela kecil berjeriji besi.
Sesuai dengan namanya, gedung ini dahulunya tempat menyimpan mesiu, yang oleh penduduk di daerah ini disebut obat bedil. Melihat gedung ini akan memberi bayangan betapa siapnya kerajaan Riau – Lingga dalam menentang penjajahan di negerinya.
Dahulu, menurut cerita tempatan, di pulau ini terdapat empat buah gedung tempat menyimpan mesiu dan kini hanya tinggal satu ini.
Kubu dan Parit Pertahanan
Di Penyengat terdapat kubu dan parit pertahanan kerajaan Riau dalam peperangan melawan Belanda tahun 1782-1784. Kubu-kubu ini terletak di bukit Penggawa, bukit Tengah dan bukit Kursi. Dahulu, kubu-kubu ini seluruhnya dilengkapi dengan meriam dalam berbagai ukuran. Bagi para wisatawan yang berkunjung, kubu ini amatlah menarik, karena selain mengandung nilai sejarah juga pemandangan alam dari kubu-kubu ini sangat indah pula.
Balai Adat Indra Perkasa
Gedung dengan arsitektur tradisional Melayu Kepulauan ini dijadikan Balai Adat untuk memperagakan berbagai bentuk upacara adat Melayu. Letaknya di tepi pantai menghadap laut lepas, amatlah mempesona.Di dalam gedung ini dapat dilihat tata ruangan dan beberapa benda kelengkapan adat Resam Melayu atau beberapa atraksi kesenian yang diadakan untuk menghormati tamu tertentu.
E ) Tokoh penyebar sejarah Islam di Kepulauan Riau
Ali Haji bin Raja Haji Ahmad
Gurindam 12 oleh Raja Ali Haji (Pahlawan Nasional)
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad (Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca. 1808- Riau, ca. 1873) adalah ulama, sejarawan, pujangga, dan terutama pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Ia merupakan keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan IV dari Kesultanan Lingga-Riau dan juga merupakan bangsawan Bugis.
Kompleks makam keluarga Haji Ahmad di Pulau Penyengat, Kota Tanjung PinangKarya monumentalnya, Gurindam Dua Belas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama merupakan kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Ia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Raja Ali Haji juga patut diangkat jasanya dalam penulisan sejarah Melayu. Buku berjudul Tuhfat al-Nafis ("Bingkisan Berharga" tentang sejarah Melayu), walaupun dari segi penulisan sejarah sangat lemah karena tidak mencantumkan sumber dan tahunnya, dapat dibilang menggambarkan peristiwa-peristiwa secara lengkap. Meskipun sebagian pihak berpendapat Tuhfat dikarang terlebih dahulu oleh ayahnya yang juga sastrawan, Raja Ahmad. Raji Ali Haji hanya meneruskan apa yang telah dimulai ayahnya. Dalam bidang ketatanegaraan dan hukum, Raja Ali Haji pun menulis Mukaddimah fi Intizam (hukum dan politik). Ia juga aktif sebagai penasihat kerajaan.
Ia ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional pada 5 November tahun 2004.
Kepada mahasiswa yang suka copy paste untuk membuat makalah, silahkan co-pas artikel ini, Jika anda adalah mahasiswa STAI MU Tanjungpinang, jangan lupa tinggalkan ucapan terimakasihnya dibawah posting ini.
PENUTUP
A. 1 Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat kami simpulkan dari beberapa pembahasan yang berhubungan dengan penyebaran perkembangan agama Islam Di Riau, yaitu :
1. Perkembangan dan penyebaran agama Islam di Riau dimulai dengan perkembangan secara sedikit-sedikit melalui rasa keingin tahuan masyarakat Riau itu sendiri pada mulanya.
2. Perkembangan Islam di Riau ,tidak terlepas dari pejuangan tokoh-tokoh penting dalam sejarah seperi Raja Ali haji dan beberapa pembesar kerajaan – kerajaan Islam di Riau seperti Kerajaan Siak ,daik, serta kerajaan yang ada di daerah indra giri.
3. Salah satu bukti nyata perkembangan dan penyebaran agama islam di Riau adalah Situs- situs sejarah yang ada di Riau itu sendiri seperti : Masjid Masjid Raya Nur Alam Senapelan, Masjid Arrahman Tertua ke2 di Pekanbaru,Istana kerajaan Siak.
4. Situs Sejarah pulau Penyengat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjandrasasmita Uka 1993. (ditor Khusus): Jaman Pertumbuhan Dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Indonesia. Dalam Sejarah Nasional Indonesia III. , Jakarta.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bp Balai Pustaka.
2. -------2000..Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia.Jakarta, PT. Menara Kudus.
3. Abie, Deni (2008). ”Perkembangan Islam” [online].Perkembanganislam.Diambildari: http://www.riau.go.id.
2 comments:
great post
thanks for share :)
insyaAllah barokah
amin pak
Post a Comment