Sadd adz-Dzarâi’, dan Keabsahannya Sebagai Dalil
Oleh : Rahimatus Sa’diyah
I. Pendahuluan
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul dengan berbagai keistimewaan risalah-Nya (al-Islam). Diantara karakteristik atau keistimewaan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal. Sebagaimana dalam firman-Nya :”dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…”(QS. Saba:28). Kemudian agama Islam juga adalah agama yang menyeluruh, ajarannya mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan manusia; aspek ruh, jasad, dan akal.”…Dan kami turunkan alquran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”(QS. An-Nahl:89). Selain itu juga Islam adalah agama yang fleksibel. Mampu menjawab tantangan dan pertanyaan seiring dengan lajunya perkembangan zaman (shâlihun likulli zamân wa makân).
Sebagai salah satu upaya dalam merealisasikan aspek fleksibilitas Islam, maka Rasulullah sallalâhu alahi wasallam membolehkan kepada para sahabat untuk berijtihad. Hal inilah yang dijadikan salah satu landasan para mujtahid dalam berijtihad mengenai suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash shorih mengenai penetapan hukumnya.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Al-Quran, Sunah, Ijm’a, dan Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang muttafaq alaih. Kemudian kita juga mengenal adillah mukhtalaf fîhâ yang merupakan produk ijtihad. Keabsahannya untuk dijadikan sumber hukum masih dipertentangkan. Salah satu dari adillah mukhtalaf tersebut adalah sadd adz dzarâi’.
Dalam tulisan yang sederhana ini penulis akan mencoba mengulas beberapa permasalahan mengenai sadd adz dzarâi’ sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum Islam.
II. Definisi Sadd adz-Dzarâi’
1. Definisi secara etimologi.
Sadd adz-dzarâi’ terdiri dari dua kata. Sadd dan adz-dzarâi’. Kata sadd dapat kita artikan mencegah (al-man’u, al-hasmu), dan adz-dzarâi’ adalah bentuk jamak dari kata dzarî’ah. Secara etimologi, kata dzarî’ah memiliki arti at taharruk wa al imtidâd. Sesuatu yang menunjukan adanya perubahan. Dalam bahasa Arab kata dzarî’ah biasa digunakan dalam makna hal-hal berikut ini:
a. Sebab. Orang Arab biasa mengungkapkan fulânun dzarî’atî ilaika.
b. Perantara. Seperti ungkapan mereka: faman tadzarra’a bidzarî’atin faqad tawassala biwasîlatin.
c. Kata dzarî’ah juga biasa difungsikan sebagai seekor unta yang dijadikan tempat persembunyian seorang pemanah, agar ia berhasil memanah binatang buruannya dari jarak yang dekat.
d. Kata dzarî’ah biasa difungsikan juga sebagai sebuah halaqoh atau perkumpulan orang yang belajar memanah.
Dari empat definisi dzarî’ah secara etimologi di atas dapat disimpulkan bahwa dzarî’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan perantara menuju sesuatu yang lain.
2. Definisi secara terminologi.
Ketika kita membaca buku-buku yang membahas masalah dzarâi’, maka kita akan menemukan bahwa secara terminologi para ahli ushul, dzara’i memiliki dua definisi. Yaitu definisi secara umum dan definisi secara khusus.
a. Definisi Umum.
Dzarâi’ ialah segala sesuatu yang dijadikan perantara, baik itu sesuatu yang hukumnya halal ataupun haram. Dari definisi ini mencakup tiga hal yaitu: Pertama; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya boleh kepada hal yang dibolehkan (mubah). Kedua; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya haram kepada hal yang diharamkan. Ketiga; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya boleh kepada hal yang diharamkan atau sebaliknya. Dari sini maka munculah sebuah kaidah fath adz-dzarâi’ dan sadd adz-dzarâi’. Membolehkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada kemaslahatan dan mencegah atau mengharamkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada mafsadat. Mengenai hal ini al-Qurâfi berkata: ”Ketahuilah bahwa dzarî’ah itu, sebagaimana ia harus ditutup pintunya, ia juga harus dibuka selebar-lebarnya. Karena segala perantara yang mengantarkan kepada sesuatu yang haram, hukumnya haram. Begitu juga dengan sesuatu yang wajib. Dan bahwasanya adanya hukum itu berdasarkan dua hal. Maqâshid dan wasâil. keduanya memiliki ketetapan hukum yang sama….”
b. Definisi Khusus.
Maksud dari definisi khusus di sini ialah definisi dzarâi’ secara terminologi yang menjadi pertentangan para ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya.
Beberapa ulama yang mendefinisikan dzarâi’ secara terminologi khusus
• al-Qâdli Abdul Wahâb, al-Bâjî, dan Ibnu Rusyd mendefinisikan bahwa dzarâi’ ialah sesuatu yang hukumnya boleh, tapi jika dilakukan kemungkinan besar akan mengantarkan kepada sesuatu yang haram.
• Menurut al-Qurthubi dzarâi’ ialah sesuatu yang hukumnya boleh, tapi jika dilakukan khawatir akan menjerumuskan kepada hal yang haram.
• Sementara menurut imam asy-Syathibi hakikat dzarâi’ ialah bertawasul dengan sesuatu yang maslahat kepada hal yang mengandung unsur mafsadat.
Dari ketiga definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa para ulama sepakat dengan istilah dzarâi’ secara terminologi khusus adalah suatu perantara yang hukum asalnya boleh. Adapun perantara yang hukumnya haram, bukanlah dzarâi’ yang dimaksud dalam definisi ini.
III. Pembagian Sadd adz-Dzarâi’
Setiap perbuatan yang akan mengantarkan kepada mafsadat, ada yang hukum asalnya haram, dan ada juga yang hukumnya boleh. Adapun yang hukum asalnya haram, para ulama tidak mempertentangkan mengenai ketetapan hukumnya. Seperti minum khamar yang akan menyebabkan mabuk dan merusak akal manusia. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan sadd adz-dzarâi’. Hal yang menjadi objek pembahasan kita mengenai sadd adz dzarâi ialah segala sesuatu yang hukum asalnya boleh tapi akan mengantarkan kepada mafsadat, sebagaimana yang telah di singgung dalam definisi secara terminologi khusus. Dalam bukunya al Wajîz fî Ushûl al Fiqh, Dr. Abdul Karîm Zaidan membaginya kepada tiga bagian:
1. Dzarâi yang akan mengantarkan pada maslahat yang lebih dominan dibandingkan dengan mafsadatnyatnya. Seperti melihat calon istri dan menanam anggur. Hal ini tidak dilarang oleh syari’at, karena maslahatnya lebih dominan dari pada mafsadat yang akan terjadi.
2. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadat yang dominan dibandingkan maslahatnya. Seperti menjual senjata (alat-alat perang) ketika masa-masa perang, menyewakan rumah kepada orang yang akan menggunakannya sebagai tempat maksiat.
3. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadat, dengan memanfaatkannya bukan pada tujuan yang sebenarnya. Seperti pernikahan yang dijadikan wasilah dihalalkannya istri yang telah di talak bain dan jual beli ajal.
Poin kedua dan ketiga ini menjadi objek pertentangan di kalangan para ulama. Madzhab Malikiyah dan Hanabilah mengharamkannya, dengan landasan sadd adz-dzarâi’. Sementara madzhab yang lainnya seperti Syafi’iyah dan Dzahiriyah tidak mengharamkannya, dengan landasan hukum asal dari perbuatan tersebut adalah boleh, maka hukumnya tidak berubah menjadi haram hanya karena ada ihtimal (kemungkinan) menyebabkan mafsadat.
Sementara Imam asy-Syathibi menambahkan satu poin dari ketiga pembagian di atas, yaitu dzarâi’ yang akan mengantarkan kepada mafsadat yang qoth’i (pasti). Seperti menggali sumur di belakang pintu rumah dalam keadaan gelap. Karena dapat dipastikan ada orang yang terperosok kedalamnya. Maka para ulama sepakat bahwa perbuatan tersebut haram, sama saja dengan membunuh orang dengan sengaja.
Dengan kata lain; berdasarkan mauqif ulama terhadap sadd adz dzarâi’, ada tiga pembagian. Dzarâi’ yang disepakati keharamannya oleh para fuqaha, dzarâi’ yang disepakati kebolehannya, dan dzarâi’ yang masih dipertentangkan.
IV. Pendapat Para Ulama Terhadap Keabsahan Sadd adz-Dzarâi’ Sebagai Dalil
Tujuan asal dari sadd adz-dzarâi’ adalah untuk menciptakan suatu maslahat dan menghindari mafsadat. Ia ibarat penguat bagi maslahah mursalah yang diterapkan secara khusus sebagai mashâdir tasyrî’i oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Maka tidak heran jika madzhab yang menjadikan sadd adz-dzarâi’ sebagai salah satu mashâdir tasyrî’i adalah madzhab Malikiyah dan Hanbaliyah. Hanya saja Imam Malik lebih banyak menggunakannya dari pada Imam Ahmad. Bahkan Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa sadd adz dzarâi’ adalah rub’u ad-dîn. Sementara Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan golongan Syi’ah menyepakatinya dalam beberapa masalah saja. Adapun Ibnu Hazm adz Dzhâhiri mengingkarinya secara mutlak. Di antara bukti yang menjelaskan bahwa Imam Syafi’i mengambil sadd adz dzara’i sebagai salah satu dalil dapat kita lihat dalam kitab al-Umm. Salah satunya dijelaskan bahwa beliau terkadang meninggalkan udlhiyyah (ibadah kurban), untuk menghindari anggapan bahwa hal tersebut hukumnya wajib.
Landasan (Alasan) yang menerima sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
1. Naqli
- Al-Quran
a. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al-An’âm :108)
b. “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad) “râ’ina”, tetapi katakanlah “unzhurnâ”, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih” (QS. Al-Baqarah:104).
- Sunah
a. Rasulullah Saw. melarang membunuh orang munafik, padahal jika dilakukan tentu ada unsur mashlahat, namun unsur mashlahat tersebut dikalahkan oleh unsur mafsadat yang akan timbul. Yaitu akan mengakibatkan perginya kaum dari agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah Saw. telah membunuh sahabatnya. Lebih dari itu ia akan berimplikasi kepada phobinya orang-orang yang belum masuk Islam.
b. Rasulullah Saw. melarang kepada orang yang dihutangi untuk menerima hadiah dari yang berhutang padanya. Khawatir hal tersebut mendekati riba.
c. Rasulullah Saw. bersabda: “Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal yang tidak kamu ragukan”(d’a mâ yurîbuka ilâ mâ lâ yurîbuka”)
d. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara dosa besar itu adalah seseorang melaknat orang tuanya. Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah bagaimana seseorang melaknat orang tuanya sendiri? Rasulullah menjawab: seseorang yang mencela orang tua saudaranya, maka orang tersebut akan membalasnya dengan mencela kembali orang tua pencela tersebut”.
- Fatwa Sahabat
a. Para sahabat menetapkan bahwa wanita yang ditalak oleh suaminya yang sakit yang menyebabkan kematian (fî maradl al maut), mereka tetap mendapatkan warisan. Karena dikhawatirkan penthalakan tersebut bertujuan agar si istri tidak mendapatkan warisan (hirmân al-irtsi). Meski dalam kenyataannya si suami tersebut tidak berniat demikian.
b. Para sahabat bersepakat untuk mengqishash para pelaku pembunuhan dengan keroyokan, walaupun yang di bunuh hanya satu orang (qatlu aljamâ’ah bi al wâhid. Pada dasarnya hal ini tidak sesuai dengan aturan qishash, namun ditetapkannya hal tersebut sebagai sadd adz dzarî’ah (agar tidak menimbulkan pertumpahan darah).
2. Kaidah Fikih
Dar`ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al mashâlih.
3. Aqli
Secara logika, ketika seseorang membolehkan sesuatu, maka otomatis ia akan membolehkan juga segala perantara yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab i’lâm al mûqi’în: ”Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah akan mengharamkan segala perantaranya. Jika membolehkanya, tentu hal ini bertolak belakang dengan tetapnya keharaman tersebut…”
Landasan (alasan) yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil adalah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Maka dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa argumen dari keduanya.
-Mauqif Imam Syafi’i terhadap sadd adz dzarâi’
a. Beliau berpendapat bahwa ketetapan hukum itu berdasarkan sesuatu yang bersifat dzahir, bukan berdasarkan sesuatu yang maknawi atau yang sifatnya dzhanni. Dalam suatu ayat Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Rasulullah Saw: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”(QS. Al-Isra:36).
b. Beliau berpendapat bahwa suatu hukum tidak batal dengan sesuatu yang belum jelas. Beliau mencontohkan dengan orang yang membeli pedang dengan tujuan mempergunakannya untuk membunuh. Maka hukum jual beli tersebut sah, tapi niatnya yang tidak boleh. Niat tersebut tidak membatalkan jual beli. Bahkan jual beli tersebut tetap sah, ketika ternyata si pembeli tadi benar-benar menggunakannya untuk membunuh.
Selain itu juga, imam Syafi’i tidak menjadikan produk ijtihad sebagai sumber dalil kecuali qiyâs.
-Penolakan Ibnu Hazm terhadap penetapan sadd adz dzarâi’ sebagai dalil, karena sadd adz dzarâi’ itu sendiri adalah salah satu produk hukum yang melibatkan akal (bâb min abwâb al ijtihâd ar ra`yi). Sementara Ibnu Hazm adalah ‘aduwu ar ra`yi. Kemudian Ibnu Hazm juga sepakat dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa halal dan haramnya sesuatu tidak bisa ditetapkan oleh sesuatu yang bersifat dzhanny.
V. Pengaruh sadd adz Dzarâi’ terhadap Ikhtilaf para Fuqaha
Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan sadd adz dzara’i sebagai dalil, maka ketika itu juga para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang berkaitan dengan permasalahan fur’u dalam fiqih. Banyak sekali masâil fiqhiyah mengenai hal ini. Akan tetapi, penulis hanya akan memberikan dua contoh saja.
a. Hukum membayarkan zakat bagi mayit yang belum menunaikan zakat
* Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si mayit berwasiat untuk membayarkannya, maka ahli waris harus membayarkannya sepertiga dari tirkah, seperti halnya wasiat. Namun jika si mayit tidak berwasiat, maka ahli waris tidak berkewajiban untuk membayarnya. Adapun alasan imam Malik adalah sadd adzarî’ah. Karena jika ahli waris wajib membayarkannya, dikhawatirkan semua orang akan menangguhkan zakatnya sampai akhir hayatnya. Tentu hal ini merupakan dlarar bagi ahli waris. Sementra Imam Abu Hanifah berhujjah bahwa zakat adalah ibadah yang mensyaratkan adanya niat, maka hal tersebut gugur dengan kematian orang yang bersangkutan.
* Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa zakat tersebut harus dibayarkan oleh ahli waris dari harta yang ditinggalkan si mayit (tirkah). Baik si mayit mewasiatkan ataupun tidak. Hujjah Imam Syafi’i dan Ahmad adalah mengkiaskan zakat dengan hutang dan ibadah haji. Tidak gugur dengan matinya orang yang bersangkutan dan dibayarkan dari seluruh tirkahnya (bukan sepertiganya). Kemudian juga karena berpegang pada dalil “fadainuLlah ahaqqu an yuqdlâ”
b. Hukum nikah orang sakit (sakit yang menimbulkan kematian)
* Imam Malik berpendapat bahwa nikahnya tidak sah.
Alasan Imam Malik adalah sadd adz dzarâi’. Karena dengan menikah, berarti ahli waris akan bertambah. Hal ini diperkirakan akan menimbulkan kemadaratan bagi ahli waris yang lain. Sebab tidak menutup kemungkinan ada ahli waris yang termahjub dengan hadirnya ahli waris yang baru. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak sahnya nikah orang yang sakit adalah salah satu dari maslahah mursalah.
*Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikahnya sah, dengan syarat maharnya adalah mahar mitsli. Dan tidak sah nikahnya kalau lebih dari mahar mitsli. Dalam kitab al mughni, Ibnu Qudamah berkata:”jika seorang laki-laki yang sakit menikahi seorang perempuan yang mahar mitslinya lima, namun ia memberinya mahar sepuluh, sementara ia tidak memiliki harta selain harta yang dijadikan mahar itu. Kemudian laki-laki tersebut mati, maka selebihnya dari mahar mitsli yang telah diberikan, tidak berhak dimiliki oleh istri tersebut, karena hal ini menyerupai wasiat, dan ahli waris tidak berhak menerima harta wasiat.”(lâ washiyata liwâritsin).
Adapun hujjah yang menyatakan bahwa nikahnya sah, adalah :
- dikiaskan dengan jual beli. Karena keduanya sama-sama aqdun mu’âwadlah.
- dikiaskan dengan hukum nikah ketika dalam kondisi sehat.
- Imam syafi’i menguatkannya dengan beristidlal kepada perbuatan sahabat. Yaitu permohonan Mu’adz din Jabal ketika beliau sakit yang mengantarkannya pada kematian. Saat itu Mu’adz berkata:”nikahkanlah aku, agar ketika aku berjumpa dengan Allah swt. tidak dalam keadaan membujang”.
VI.Penutup
Pada akhir tulisan ini, penulis menemukan satu benang merah dari permasalahan di atas, bahwa sadd adz dzarâ’i merupakan salah satu usul sohihah yang dikuatkan oleh syara, tidak bertentangan dengan nash, juga muayyadun bi al ‘aqli. Karena sadd adz dzazâi’ itu sendiri merupakan salah satu pilar dari maqâshid syari’ah.
Oleh : Rahimatus Sa’diyah
I. Pendahuluan
Allah Swt mengutus Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan Rasul dengan berbagai keistimewaan risalah-Nya (al-Islam). Diantara karakteristik atau keistimewaan tersebut adalah bahwa Islam merupakan agama yang universal. Sebagaimana dalam firman-Nya :”dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan…”(QS. Saba:28). Kemudian agama Islam juga adalah agama yang menyeluruh, ajarannya mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan manusia; aspek ruh, jasad, dan akal.”…Dan kami turunkan alquran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”(QS. An-Nahl:89). Selain itu juga Islam adalah agama yang fleksibel. Mampu menjawab tantangan dan pertanyaan seiring dengan lajunya perkembangan zaman (shâlihun likulli zamân wa makân).
Sebagai salah satu upaya dalam merealisasikan aspek fleksibilitas Islam, maka Rasulullah sallalâhu alahi wasallam membolehkan kepada para sahabat untuk berijtihad. Hal inilah yang dijadikan salah satu landasan para mujtahid dalam berijtihad mengenai suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash shorih mengenai penetapan hukumnya.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Al-Quran, Sunah, Ijm’a, dan Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang muttafaq alaih. Kemudian kita juga mengenal adillah mukhtalaf fîhâ yang merupakan produk ijtihad. Keabsahannya untuk dijadikan sumber hukum masih dipertentangkan. Salah satu dari adillah mukhtalaf tersebut adalah sadd adz dzarâi’.
Dalam tulisan yang sederhana ini penulis akan mencoba mengulas beberapa permasalahan mengenai sadd adz dzarâi’ sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum Islam.
II. Definisi Sadd adz-Dzarâi’
1. Definisi secara etimologi.
Sadd adz-dzarâi’ terdiri dari dua kata. Sadd dan adz-dzarâi’. Kata sadd dapat kita artikan mencegah (al-man’u, al-hasmu), dan adz-dzarâi’ adalah bentuk jamak dari kata dzarî’ah. Secara etimologi, kata dzarî’ah memiliki arti at taharruk wa al imtidâd. Sesuatu yang menunjukan adanya perubahan. Dalam bahasa Arab kata dzarî’ah biasa digunakan dalam makna hal-hal berikut ini:
a. Sebab. Orang Arab biasa mengungkapkan fulânun dzarî’atî ilaika.
b. Perantara. Seperti ungkapan mereka: faman tadzarra’a bidzarî’atin faqad tawassala biwasîlatin.
c. Kata dzarî’ah juga biasa difungsikan sebagai seekor unta yang dijadikan tempat persembunyian seorang pemanah, agar ia berhasil memanah binatang buruannya dari jarak yang dekat.
d. Kata dzarî’ah biasa difungsikan juga sebagai sebuah halaqoh atau perkumpulan orang yang belajar memanah.
Dari empat definisi dzarî’ah secara etimologi di atas dapat disimpulkan bahwa dzarî’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan perantara menuju sesuatu yang lain.
2. Definisi secara terminologi.
Ketika kita membaca buku-buku yang membahas masalah dzarâi’, maka kita akan menemukan bahwa secara terminologi para ahli ushul, dzara’i memiliki dua definisi. Yaitu definisi secara umum dan definisi secara khusus.
a. Definisi Umum.
Dzarâi’ ialah segala sesuatu yang dijadikan perantara, baik itu sesuatu yang hukumnya halal ataupun haram. Dari definisi ini mencakup tiga hal yaitu: Pertama; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya boleh kepada hal yang dibolehkan (mubah). Kedua; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya haram kepada hal yang diharamkan. Ketiga; perpindahan dari sesuatu yang hukumnya boleh kepada hal yang diharamkan atau sebaliknya. Dari sini maka munculah sebuah kaidah fath adz-dzarâi’ dan sadd adz-dzarâi’. Membolehkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada kemaslahatan dan mencegah atau mengharamkan segala perantara yang akan mengantarkan kepada mafsadat. Mengenai hal ini al-Qurâfi berkata: ”Ketahuilah bahwa dzarî’ah itu, sebagaimana ia harus ditutup pintunya, ia juga harus dibuka selebar-lebarnya. Karena segala perantara yang mengantarkan kepada sesuatu yang haram, hukumnya haram. Begitu juga dengan sesuatu yang wajib. Dan bahwasanya adanya hukum itu berdasarkan dua hal. Maqâshid dan wasâil. keduanya memiliki ketetapan hukum yang sama….”
b. Definisi Khusus.
Maksud dari definisi khusus di sini ialah definisi dzarâi’ secara terminologi yang menjadi pertentangan para ulama. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya.
Beberapa ulama yang mendefinisikan dzarâi’ secara terminologi khusus
• al-Qâdli Abdul Wahâb, al-Bâjî, dan Ibnu Rusyd mendefinisikan bahwa dzarâi’ ialah sesuatu yang hukumnya boleh, tapi jika dilakukan kemungkinan besar akan mengantarkan kepada sesuatu yang haram.
• Menurut al-Qurthubi dzarâi’ ialah sesuatu yang hukumnya boleh, tapi jika dilakukan khawatir akan menjerumuskan kepada hal yang haram.
• Sementara menurut imam asy-Syathibi hakikat dzarâi’ ialah bertawasul dengan sesuatu yang maslahat kepada hal yang mengandung unsur mafsadat.
Dari ketiga definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa para ulama sepakat dengan istilah dzarâi’ secara terminologi khusus adalah suatu perantara yang hukum asalnya boleh. Adapun perantara yang hukumnya haram, bukanlah dzarâi’ yang dimaksud dalam definisi ini.
III. Pembagian Sadd adz-Dzarâi’
Setiap perbuatan yang akan mengantarkan kepada mafsadat, ada yang hukum asalnya haram, dan ada juga yang hukumnya boleh. Adapun yang hukum asalnya haram, para ulama tidak mempertentangkan mengenai ketetapan hukumnya. Seperti minum khamar yang akan menyebabkan mabuk dan merusak akal manusia. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan sadd adz-dzarâi’. Hal yang menjadi objek pembahasan kita mengenai sadd adz dzarâi ialah segala sesuatu yang hukum asalnya boleh tapi akan mengantarkan kepada mafsadat, sebagaimana yang telah di singgung dalam definisi secara terminologi khusus. Dalam bukunya al Wajîz fî Ushûl al Fiqh, Dr. Abdul Karîm Zaidan membaginya kepada tiga bagian:
1. Dzarâi yang akan mengantarkan pada maslahat yang lebih dominan dibandingkan dengan mafsadatnyatnya. Seperti melihat calon istri dan menanam anggur. Hal ini tidak dilarang oleh syari’at, karena maslahatnya lebih dominan dari pada mafsadat yang akan terjadi.
2. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadat yang dominan dibandingkan maslahatnya. Seperti menjual senjata (alat-alat perang) ketika masa-masa perang, menyewakan rumah kepada orang yang akan menggunakannya sebagai tempat maksiat.
3. Dzarâi’ yang akan mengantarkan pada mafsadat, dengan memanfaatkannya bukan pada tujuan yang sebenarnya. Seperti pernikahan yang dijadikan wasilah dihalalkannya istri yang telah di talak bain dan jual beli ajal.
Poin kedua dan ketiga ini menjadi objek pertentangan di kalangan para ulama. Madzhab Malikiyah dan Hanabilah mengharamkannya, dengan landasan sadd adz-dzarâi’. Sementara madzhab yang lainnya seperti Syafi’iyah dan Dzahiriyah tidak mengharamkannya, dengan landasan hukum asal dari perbuatan tersebut adalah boleh, maka hukumnya tidak berubah menjadi haram hanya karena ada ihtimal (kemungkinan) menyebabkan mafsadat.
Sementara Imam asy-Syathibi menambahkan satu poin dari ketiga pembagian di atas, yaitu dzarâi’ yang akan mengantarkan kepada mafsadat yang qoth’i (pasti). Seperti menggali sumur di belakang pintu rumah dalam keadaan gelap. Karena dapat dipastikan ada orang yang terperosok kedalamnya. Maka para ulama sepakat bahwa perbuatan tersebut haram, sama saja dengan membunuh orang dengan sengaja.
Dengan kata lain; berdasarkan mauqif ulama terhadap sadd adz dzarâi’, ada tiga pembagian. Dzarâi’ yang disepakati keharamannya oleh para fuqaha, dzarâi’ yang disepakati kebolehannya, dan dzarâi’ yang masih dipertentangkan.
IV. Pendapat Para Ulama Terhadap Keabsahan Sadd adz-Dzarâi’ Sebagai Dalil
Tujuan asal dari sadd adz-dzarâi’ adalah untuk menciptakan suatu maslahat dan menghindari mafsadat. Ia ibarat penguat bagi maslahah mursalah yang diterapkan secara khusus sebagai mashâdir tasyrî’i oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Maka tidak heran jika madzhab yang menjadikan sadd adz-dzarâi’ sebagai salah satu mashâdir tasyrî’i adalah madzhab Malikiyah dan Hanbaliyah. Hanya saja Imam Malik lebih banyak menggunakannya dari pada Imam Ahmad. Bahkan Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa sadd adz dzarâi’ adalah rub’u ad-dîn. Sementara Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan golongan Syi’ah menyepakatinya dalam beberapa masalah saja. Adapun Ibnu Hazm adz Dzhâhiri mengingkarinya secara mutlak. Di antara bukti yang menjelaskan bahwa Imam Syafi’i mengambil sadd adz dzara’i sebagai salah satu dalil dapat kita lihat dalam kitab al-Umm. Salah satunya dijelaskan bahwa beliau terkadang meninggalkan udlhiyyah (ibadah kurban), untuk menghindari anggapan bahwa hal tersebut hukumnya wajib.
Landasan (Alasan) yang menerima sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
1. Naqli
- Al-Quran
a. “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al-An’âm :108)
b. “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad) “râ’ina”, tetapi katakanlah “unzhurnâ”, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih” (QS. Al-Baqarah:104).
- Sunah
a. Rasulullah Saw. melarang membunuh orang munafik, padahal jika dilakukan tentu ada unsur mashlahat, namun unsur mashlahat tersebut dikalahkan oleh unsur mafsadat yang akan timbul. Yaitu akan mengakibatkan perginya kaum dari agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah Saw. telah membunuh sahabatnya. Lebih dari itu ia akan berimplikasi kepada phobinya orang-orang yang belum masuk Islam.
b. Rasulullah Saw. melarang kepada orang yang dihutangi untuk menerima hadiah dari yang berhutang padanya. Khawatir hal tersebut mendekati riba.
c. Rasulullah Saw. bersabda: “Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal yang tidak kamu ragukan”(d’a mâ yurîbuka ilâ mâ lâ yurîbuka”)
d. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara dosa besar itu adalah seseorang melaknat orang tuanya. Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah bagaimana seseorang melaknat orang tuanya sendiri? Rasulullah menjawab: seseorang yang mencela orang tua saudaranya, maka orang tersebut akan membalasnya dengan mencela kembali orang tua pencela tersebut”.
- Fatwa Sahabat
a. Para sahabat menetapkan bahwa wanita yang ditalak oleh suaminya yang sakit yang menyebabkan kematian (fî maradl al maut), mereka tetap mendapatkan warisan. Karena dikhawatirkan penthalakan tersebut bertujuan agar si istri tidak mendapatkan warisan (hirmân al-irtsi). Meski dalam kenyataannya si suami tersebut tidak berniat demikian.
b. Para sahabat bersepakat untuk mengqishash para pelaku pembunuhan dengan keroyokan, walaupun yang di bunuh hanya satu orang (qatlu aljamâ’ah bi al wâhid. Pada dasarnya hal ini tidak sesuai dengan aturan qishash, namun ditetapkannya hal tersebut sebagai sadd adz dzarî’ah (agar tidak menimbulkan pertumpahan darah).
2. Kaidah Fikih
Dar`ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al mashâlih.
3. Aqli
Secara logika, ketika seseorang membolehkan sesuatu, maka otomatis ia akan membolehkan juga segala perantara yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab i’lâm al mûqi’în: ”Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah akan mengharamkan segala perantaranya. Jika membolehkanya, tentu hal ini bertolak belakang dengan tetapnya keharaman tersebut…”
Landasan (alasan) yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil adalah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Maka dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa argumen dari keduanya.
-Mauqif Imam Syafi’i terhadap sadd adz dzarâi’
a. Beliau berpendapat bahwa ketetapan hukum itu berdasarkan sesuatu yang bersifat dzahir, bukan berdasarkan sesuatu yang maknawi atau yang sifatnya dzhanni. Dalam suatu ayat Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Rasulullah Saw: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”(QS. Al-Isra:36).
b. Beliau berpendapat bahwa suatu hukum tidak batal dengan sesuatu yang belum jelas. Beliau mencontohkan dengan orang yang membeli pedang dengan tujuan mempergunakannya untuk membunuh. Maka hukum jual beli tersebut sah, tapi niatnya yang tidak boleh. Niat tersebut tidak membatalkan jual beli. Bahkan jual beli tersebut tetap sah, ketika ternyata si pembeli tadi benar-benar menggunakannya untuk membunuh.
Selain itu juga, imam Syafi’i tidak menjadikan produk ijtihad sebagai sumber dalil kecuali qiyâs.
-Penolakan Ibnu Hazm terhadap penetapan sadd adz dzarâi’ sebagai dalil, karena sadd adz dzarâi’ itu sendiri adalah salah satu produk hukum yang melibatkan akal (bâb min abwâb al ijtihâd ar ra`yi). Sementara Ibnu Hazm adalah ‘aduwu ar ra`yi. Kemudian Ibnu Hazm juga sepakat dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa halal dan haramnya sesuatu tidak bisa ditetapkan oleh sesuatu yang bersifat dzhanny.
V. Pengaruh sadd adz Dzarâi’ terhadap Ikhtilaf para Fuqaha
Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan sadd adz dzara’i sebagai dalil, maka ketika itu juga para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang berkaitan dengan permasalahan fur’u dalam fiqih. Banyak sekali masâil fiqhiyah mengenai hal ini. Akan tetapi, penulis hanya akan memberikan dua contoh saja.
a. Hukum membayarkan zakat bagi mayit yang belum menunaikan zakat
* Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si mayit berwasiat untuk membayarkannya, maka ahli waris harus membayarkannya sepertiga dari tirkah, seperti halnya wasiat. Namun jika si mayit tidak berwasiat, maka ahli waris tidak berkewajiban untuk membayarnya. Adapun alasan imam Malik adalah sadd adzarî’ah. Karena jika ahli waris wajib membayarkannya, dikhawatirkan semua orang akan menangguhkan zakatnya sampai akhir hayatnya. Tentu hal ini merupakan dlarar bagi ahli waris. Sementra Imam Abu Hanifah berhujjah bahwa zakat adalah ibadah yang mensyaratkan adanya niat, maka hal tersebut gugur dengan kematian orang yang bersangkutan.
* Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa zakat tersebut harus dibayarkan oleh ahli waris dari harta yang ditinggalkan si mayit (tirkah). Baik si mayit mewasiatkan ataupun tidak. Hujjah Imam Syafi’i dan Ahmad adalah mengkiaskan zakat dengan hutang dan ibadah haji. Tidak gugur dengan matinya orang yang bersangkutan dan dibayarkan dari seluruh tirkahnya (bukan sepertiganya). Kemudian juga karena berpegang pada dalil “fadainuLlah ahaqqu an yuqdlâ”
b. Hukum nikah orang sakit (sakit yang menimbulkan kematian)
* Imam Malik berpendapat bahwa nikahnya tidak sah.
Alasan Imam Malik adalah sadd adz dzarâi’. Karena dengan menikah, berarti ahli waris akan bertambah. Hal ini diperkirakan akan menimbulkan kemadaratan bagi ahli waris yang lain. Sebab tidak menutup kemungkinan ada ahli waris yang termahjub dengan hadirnya ahli waris yang baru. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak sahnya nikah orang yang sakit adalah salah satu dari maslahah mursalah.
*Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikahnya sah, dengan syarat maharnya adalah mahar mitsli. Dan tidak sah nikahnya kalau lebih dari mahar mitsli. Dalam kitab al mughni, Ibnu Qudamah berkata:”jika seorang laki-laki yang sakit menikahi seorang perempuan yang mahar mitslinya lima, namun ia memberinya mahar sepuluh, sementara ia tidak memiliki harta selain harta yang dijadikan mahar itu. Kemudian laki-laki tersebut mati, maka selebihnya dari mahar mitsli yang telah diberikan, tidak berhak dimiliki oleh istri tersebut, karena hal ini menyerupai wasiat, dan ahli waris tidak berhak menerima harta wasiat.”(lâ washiyata liwâritsin).
Adapun hujjah yang menyatakan bahwa nikahnya sah, adalah :
- dikiaskan dengan jual beli. Karena keduanya sama-sama aqdun mu’âwadlah.
- dikiaskan dengan hukum nikah ketika dalam kondisi sehat.
- Imam syafi’i menguatkannya dengan beristidlal kepada perbuatan sahabat. Yaitu permohonan Mu’adz din Jabal ketika beliau sakit yang mengantarkannya pada kematian. Saat itu Mu’adz berkata:”nikahkanlah aku, agar ketika aku berjumpa dengan Allah swt. tidak dalam keadaan membujang”.
VI.Penutup
Pada akhir tulisan ini, penulis menemukan satu benang merah dari permasalahan di atas, bahwa sadd adz dzarâ’i merupakan salah satu usul sohihah yang dikuatkan oleh syara, tidak bertentangan dengan nash, juga muayyadun bi al ‘aqli. Karena sadd adz dzazâi’ itu sendiri merupakan salah satu pilar dari maqâshid syari’ah.
0 comments:
Post a Comment