Dalam lingkup hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau Hadits. Namun demikian, adakalanya ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini tidak hanya hukum yang terkait dengan penyelesaian suatu masalah tetapi juga hukum untuk melaksanakan suatu perbuatan, seperti shalat, puasa dan praktek jual beli.
Penggunaan dalil-dalil atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang lazim digunakan dikalangan umat Islam. Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan melalui dalil-dalil yang rinci. Pengertian Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Ushul Fiqh berkaitan dengan kaidah atau metode untuk merumuskan hukum tertentu. Sedangkan Fiqh adalah hukum atas suatu perbuatan yang dirumuskan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Ushul Fiqh yaitu hukum yang berkenaan dengan suatu perbuatan (misalnya, fiqh shalat wajib, fiqh puasa sunah atau fiqh perkawinan).
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadts adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lainnya, diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan, mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.
Sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas tidak seluruhnya dapat diterima oleh seluruh ulama Ushul Fiqh secara bulat, sumber-sumber hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tidak diperdebatkan dan yang diperdebatkan. Sumber hukum yang tidak diperdebatkan atau diterima oleh seluruh ulama adalah ijma’ dan qiyas. Sedangkan sumber hukum yang masih menjadi perdebatan adalah sumber hukum selain ijma’ dan qiyas. Perbedaan terjadi dikarenakan perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Ijma’ adalah kesepakatan bulat para mujtahid seluruh dunia dengan tidak dibatasi oleh kenegaraan dan kebangsaan, sehingga tidak dianggap sebagai ijma’ apabila ada mujtahid yang tidak setuju walau hanya satu orang. Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.
Qiyas adalah menyamakan hukum syara’ satu kasus dengan kasus lain karena keduanya mempunyai persamaan illat atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara bagi masing-masing. Yang dijadikan rujukan adalah kasus yang ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan/atau Hadits, yaitu dengan membandingkan illat-nya atau sebabnya dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Contoh hukum yang ditetapkan dengan qiyas adalah keharaman alkohol dimana alkohol memiliki sifat yang sama dengan khamar, yaitu memabukkan bagi yang meminumnya.
Istihsan adalah tidak mempergunakan qiyas dengan mempergunakan dalil yang lebih kuat dari qiyas, dikarenakan adanya dalil yang menghendaki serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang dipadukan sehingga dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang mengandung manfaat, Sedangkan pengertian menurut Ushul Fiqh bermacam-bermacam namun pada intinya memiliki pengertian sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali, yaitu meraih atau memperoleh manfaat dan menghindari mudarat.
Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya atau yang sudah ada sampai dengan adanya dalil yang dapat mengubah berlakunya hukum yang terdahulu.
‘Urf dapat berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima oleh akal sehat dan ada ulama yang berpendapat bahwa ‘urf adalah sama dengan adat. Namun demikian ulama Ushul Fiqh membedakan antara pengertian ‘urf dengan pengertian adat. Ulama Ushul Fiqh mendefinisikan adat sebagai sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional, sehingga mencakup pengertian yang sangat luas termasuk kebiasaan pribadi orang perorangan. Sedang ‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Syar’u man qablana berarti syariat sebelum Islam. Berkaitan dengan syariat sebelum Islam ulama Ushul Fiqh telah bersepakat bahwa secara umum syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam telah dibatalkan secara umum oleh syariat Islam, namun masih ada syariat-syariat sebelum Islam yang berlaku dalam syariat Islam. Syariat yang masih berlaku diantaranya adalah beriman kepada Allah, hukuman qishash dan hukuman atas tindak pencurian.
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.. Yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama Ushul Fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.
Dzari’ah berarti jalan menuju sesuatu, sehingga pengertian dzari’ah dapat mencakup sesuatu yang mengarah/membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan, atau yang mengarah kepada kebaikan. Contoh dzari’ah adalah larangan melihat tayangan yang mengandung materi pornografi untuk mencegah terjadinya tindak pemerkosaan atau mendidik anak untuk shalat sejak kecil agar terbiasa menjalankan shalat.
Penggunaan dalil-dalil atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang lazim digunakan dikalangan umat Islam. Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan melalui dalil-dalil yang rinci. Pengertian Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Ushul Fiqh berkaitan dengan kaidah atau metode untuk merumuskan hukum tertentu. Sedangkan Fiqh adalah hukum atas suatu perbuatan yang dirumuskan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Ushul Fiqh yaitu hukum yang berkenaan dengan suatu perbuatan (misalnya, fiqh shalat wajib, fiqh puasa sunah atau fiqh perkawinan).
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadts adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lainnya, diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan, mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.
Sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas tidak seluruhnya dapat diterima oleh seluruh ulama Ushul Fiqh secara bulat, sumber-sumber hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tidak diperdebatkan dan yang diperdebatkan. Sumber hukum yang tidak diperdebatkan atau diterima oleh seluruh ulama adalah ijma’ dan qiyas. Sedangkan sumber hukum yang masih menjadi perdebatan adalah sumber hukum selain ijma’ dan qiyas. Perbedaan terjadi dikarenakan perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Ijma’ adalah kesepakatan bulat para mujtahid seluruh dunia dengan tidak dibatasi oleh kenegaraan dan kebangsaan, sehingga tidak dianggap sebagai ijma’ apabila ada mujtahid yang tidak setuju walau hanya satu orang. Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.
Qiyas adalah menyamakan hukum syara’ satu kasus dengan kasus lain karena keduanya mempunyai persamaan illat atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara bagi masing-masing. Yang dijadikan rujukan adalah kasus yang ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan/atau Hadits, yaitu dengan membandingkan illat-nya atau sebabnya dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Contoh hukum yang ditetapkan dengan qiyas adalah keharaman alkohol dimana alkohol memiliki sifat yang sama dengan khamar, yaitu memabukkan bagi yang meminumnya.
Istihsan adalah tidak mempergunakan qiyas dengan mempergunakan dalil yang lebih kuat dari qiyas, dikarenakan adanya dalil yang menghendaki serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang dipadukan sehingga dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang mengandung manfaat, Sedangkan pengertian menurut Ushul Fiqh bermacam-bermacam namun pada intinya memiliki pengertian sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali, yaitu meraih atau memperoleh manfaat dan menghindari mudarat.
Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya atau yang sudah ada sampai dengan adanya dalil yang dapat mengubah berlakunya hukum yang terdahulu.
‘Urf dapat berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima oleh akal sehat dan ada ulama yang berpendapat bahwa ‘urf adalah sama dengan adat. Namun demikian ulama Ushul Fiqh membedakan antara pengertian ‘urf dengan pengertian adat. Ulama Ushul Fiqh mendefinisikan adat sebagai sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional, sehingga mencakup pengertian yang sangat luas termasuk kebiasaan pribadi orang perorangan. Sedang ‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Syar’u man qablana berarti syariat sebelum Islam. Berkaitan dengan syariat sebelum Islam ulama Ushul Fiqh telah bersepakat bahwa secara umum syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam telah dibatalkan secara umum oleh syariat Islam, namun masih ada syariat-syariat sebelum Islam yang berlaku dalam syariat Islam. Syariat yang masih berlaku diantaranya adalah beriman kepada Allah, hukuman qishash dan hukuman atas tindak pencurian.
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.. Yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama Ushul Fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.
Dzari’ah berarti jalan menuju sesuatu, sehingga pengertian dzari’ah dapat mencakup sesuatu yang mengarah/membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan, atau yang mengarah kepada kebaikan. Contoh dzari’ah adalah larangan melihat tayangan yang mengandung materi pornografi untuk mencegah terjadinya tindak pemerkosaan atau mendidik anak untuk shalat sejak kecil agar terbiasa menjalankan shalat.
0 comments:
Post a Comment